Apabila kita simak bersama, bahwa
dalam pendidikan atau mendidik tidak hanya sebatas mentransfer ilmu saja, namun
lebih jauh dan pengertian itu yang lebih utama adalah dapat mengubah atau
membentuk karakter dan watak seseorang agar menjadi lebih baik, lebih sopan
dalam tataran etika maupun estetika maupun perilaku dalam kehidupan
sehari-hari.
Memang idealnya demikian. Namun apa
yang terjadi di era sekarang? Banyak kita jumpai perilaku para anak didik kita
yang kurang sopan, bahkan lebih ironis lagi sudah tidak mau menghormati kepada
orang tua, baik guru maupun sesama. Banyak kalangan yang mengatakan bahwa
"watak" dengan "watuk" (batuk) sangat tipis perbedaannya.
Apabila "watak" bisa terjadi karena sudah dari sononya atau bisa juga
karena faktor bawaan yang sulit untuk diubah, namun apabila "watak"
=batuk, mudah disembuhkan dengan minum obat batuk. Mengapa hal ini bisa
terjadi? Jelas hal ini tidak dapat terlepas adanya perkembangan atau laju ilmu
pengetahuan dan teknologi serta informasi yang mengglobal, bahkan sudah tidak
mengenal batas-batas negara hingga mempengaruhi ke seluruh sendi kehidupan
manusia.
Makna
Pendidikan
Banyak kalangan memberikan makna
tentang pendidikan sangat beragam, bahkan sesuai dengan pandangannya
masing-masing. Azyumardi Azra dalam buku "Paradigma Baru Pendidikan
Nasional Rekonstruksi dan Demokratisasi", memberikan pengertian tentang
"pendidikan" adalah merupakan suatu proses di mana suatu bangsa
mempersiapkan generasi mudanya untuk menjalankan kehidupan dan untuk memenuhi
tujuan hidup secara efektif dan efisien. Bahkan ia menegaskan, bahwa pendidikan
lebih sekedar pengajaran, artinya, bahwa pendidikan adalah suatu proses dimana
suatu bangsa atau negara membina dan mengembangkan kesadaran diri diantara
individu-individu.
Di samping itu, pendidikan adalah
suatu hal yang benar-benar ditanamkan selain menempa fisik, mental dan moral
bagi individu-individu, agar mereka menjadi manusia yang berbudaya, sehingga
diharapkan mampu memenuhi tugasnya sebagai manusia yang diciptakan Allah Tuhan
Semesta Alam sebagai makhluk yang sempurna dan terpilih sebagai khalifahNya di
muka bumi ini yang sekaligus menjadi warga negara yang berarti dan bermanfaat
bagi suatu negara.
Perkembangan
Pendidikan
Bangkitnya dunia pendidikan yang
dirintis oleh Pahlawan kita Ki Hadjar Dewantara untuk menentang penjajah pada
massa lalu, sungguh sangat berarti apabila kita cermati dengan saksama. Untuk
itu tidak terlalu berlebihan apabila bangsa Indonesia sebagai bangsa yang besar
memperingati hari Pendidikan Nasional yang jatuh setiap tanggal 2 Mei ini,
sebagai bentuk refteksi penghargaan sekaligus bentuk penghormatan yang tiada terhingga
kepada para Perintis Kemerdekaan dan Pahlawan Nasional. Di samping itu, betapa
jiwa nasionalisme dan kejuangannya serta wawasan kebangsaan yang dimiliki para
pendahulu kita sangat besar, bahkan rela berkorban demi nusa dan bangsa. Lantas
bagaimana perkembangan sekarang? Sangat ironis, memang. Banyak para pemuda kita
yang tidak memiliki jiwa besar, bahkan sangat mengkhawatirkan, janganjangan
terhadap lagu kebangsaan kita pun sudah tidak hafal, jangankan menghayati.
Namun, kita sangat yakin dan semakin sadar, bahwa hanya melalui dunia
pendidikanlah bangsa kita akan menjadi maju, sehingga dapat mengejar
ketertinggalan dengan bangsa lain di dunia, sekaligus merupakan barometer
terhadap kualitas sumber daya manusia.
Krisis moneter yang berlanjut dalam
krisis ekonomi yang terjadi hingga puncaknya ditandai dengan jatuhnya rezim
Soeharto dari kekuasaannya pada Mei 1998 yang lalu, telah mendorong reformasi
bukan hanya dalam bidang politik dan ekonomi saja, melainkan juga terimbas
dalam dunia pendidikan juga. Reformasi dalam bidang pendidikan, pada dasarnya
merupakan reposisi dan bahkan rekonstruksi pendidikan secara keseluruhan atau
secara komprehensif integral. Reformasi, reposisi dan rekonstruksi pendidikan
jelas harus melibatkan penilaian kembali secara kritis pencapaian dan
masalah-masalah yang dihadapi dalam penyelenggaraan pendidikan nasional.
Apabila kita amati secara garis
besar, pencapaian pendidikan nasional kita masih jauh dan harapan, apalagi
untuk mampu bersaing secara kompetitif dengan perkembangan pendidikan pada
tingkat global. Baik secara kuantitatif maupun kualitatif, pendidikan nasional
masih memiliki banyak kelemahan mendasar. Bahkan pendidikan nasional, menurut
banyak kalangan, bukan hanya belum berhasil meningkatkan kecerdasan dan
keterampilan anak didik, melainkan gagal dalam membentuk karakter dan watak
kepribadian (nation and character building), bahkan terjadi adanya degradasi
moral.
Reformasi
Pendidikan
Kita harus sadar, bahwa pembentukan
karakter dan watak atau kepribadian ini sangat penting, bahkan sangat mendesak
dan mutlak adanya (tidak bisa ditawar-tawar lagi). Hal ini cukup beralasan.
Mengapa mutlak diperlukan? Karena adanya krisis yang terus berkelanjutan
melanda bangsa dan negara kita sampai saat ini belum ada solusi secara jelas
dan tegas, lebih banyak berupa wacana yang seolah-olah bangsa ini diajak dalam
dunia mimpi. Tentu masih ingat beberapa waktu yang lalu Pemerintah mengeluarkan
pandangan, bahwa bangsa kita akan makmur, sejahtera nanti di tahun 2030. Suatu
pemimpin bangsa yang besar untuk mengajak bangsa atau rakyatnya menjadi
"pemimpi" dalam menggapai kemakmuran yang dicita-citakan.
Banyak kalangan masyarakat yang
mempunyai pandangan terhadap istilah "kelatahan sosial" yang terjadi
akhir-akhir ini. Hal ini memang terjadi dengan berbagai peristiwa, seperti
tuntutan demokrasi yang diartikan sebagai kebebasan tanpa aturan, tuntutan
otonomi sebagai kemandirian tanpa kerangka acuan yang mempersatukan seluruh
komponen bangsa, hak asasi manusia yang terkadang mendahulukan hak daripada
kewajiban. Pada akhirnya berkembang ke arah berlakunya hukum rimba yang memicu
kesukubangsaan (ethnicity). Kerancuan ini menyebabkan orang frustasi dan
cenderung meluapkan perasaan tanpa kendali dalam bentuk "amuk massa atau
amuk sosial".
Berhadapan dengan berbagai masalah
dan tantangan, pendidikan nasional pada saat yang sama (masih) tetap memikul
peran multidimensi. Berbeda dengan peran pendidikan pada negara-negara maju,
yang pada dasarnya lebih terbatas pada transfer ilmu pengetahuan, peranan
pendidikan nasional di Indonesia memikul beban lebih berat Pendidikan berperan
bukan hanya merupakan sarana transfer ilmu pengetahuan saja, tetap lebih luas
lagi sebagai pembudayaan (enkulturisasi) yang tentu saja hal terpenting dan
pembudayaan itu adalah pembentukan karakter dan watak (nation and character
building), yang pada gilirannya sangat krusial bagi notion building atau dalam
bahasa lebih populer menuju rekonstruksi negara dan bangsa yang lebih maju dan
beradab.
Oleh karena itu, reformasi
pendidikan sangat mutlak diperlukan untuk membangun karakter atau watak suatu
bangsa, bahkan merupakan kebutuhan mendesak. Reformasi kehidupan nasional
secara singkat, pada intinya bertujuan untuk membangun Indonesia yang lebih
genuinely dan authentically demokratis dan berkeadaban, sehingga betul-betul
menjadi Indonesia baru yang madani, yang bersatu padu (integrated). Di samping
itu, peran pendidikan nasional dengan berbagai jenjang dan jalurnya merupakan
sarana paling strategis untuk mengasuh, membesarkan dan mengembangkan warga
negara yang demokratis dan memiliki keadaban (civility) kemampuan,
keterampilan, etos dan motivasi serta berpartisipasi aktif, merupakan ciri dan
karakter paling pokok dari suatu masyarakat madani Indonesia. Jangan sampai
yang terjadi malah kekerasan yang meregenerasi seperti halnya yang terjadi di
IPDN yang menjadi sorotan akhir-akhir ini (Kompas 16/4), Kekerasan fisik yang
mengorbankan nyawa dan harta benda tersebut, sangat jelas terkait pula dengan
masih bertahannya "kekerasan struktural" (structural violence) pada
tingkat tertentu. Akibatnya, perdamaian hati secara hakiki tidak atau belum
berhasil diwujudkan.
Pendidikan
Karakter
Tidak perlu disangsikan lagi, bahwa
pendidikan karakter merupakan upaya yang harus melibatkan semua pihak baik
rumah tangga dan keluarga, sekolah dan lingkungan sekolah, masyarakat luas.
Oleh karena itu, perlu menyambung kembali hubungan dan educational networks
yang mulai terputus tersebut. Pembentukan dan pendidikan karakter tersebut,
tidak akan berhasil selama antar lingkungan pendidikan tidak ada kesinambungan
dan keharmonisan.
Dengan demikian, rumah tangga dan
keluarga sebagai lingkungan pembentukan dan pendidikan karakter pertama dan
utama harus lebih diberdayakan. Sebagaimana disarankan Philips, keluarga
hendaklah kembali menjadi school of love, sekolah untuk kasih sayang (Philips,
2000) atau tempat belajar yang penuh cinta sejati dan kasih sayang (keluarga
yang sakinah, mawaddah, dan warrahmah). Sedangkan pendidikan karakter melalui
sekolah, tidak semata-mata pembelajaran pengetahuan semata, tatapi lebih dari
itu, yaitu penanaman moral, nilai-nilai etika, estetika, budi pekerti yang
luhur dan lain sebagainya. Pemberian penghargaan (prizing) kepada yang
berprestasi, dan hukuman kepada yang melanggar, menumbuhsuburkan (cherising)
nilai-nilai yang baik dan sebaliknya mengecam dan mencegah (discowaging)
berlakunya nilai-nilai yang buruk. Selanjutnya menerapkan pendidikan
berdasarkan karakter (characterbase education) dengan menerapkan ke dalam
setiap pelajaran yang ada di samping mata pelajaran khusus untuk mendidik
karakter, seperti; pelajaran Agama, Sejarah, Moral Pancasila dan sebagainya.
Di samping itu tidak kalah
pentingnya pendidikan di masyarakat. Lingkungan masyarakat juga sangat
mempengaruhi terhadap karakter dan watak seseorang. Lingkungan masyarakat luas
sangat mempengaruhi terhadap keberhasilan penanaman nilai-nilai etika, estetika
untuk pembentukan karakter. Menurut Qurais Shihab (1996 ; 321), situasi
kemasyarakatan dengan sistem nilai yang dianutnya, mempengaruhi sikap dan cara
pandang masyarakat secara keseluruhan. Jika sistem nilai dan pandangan mereka
terbatas pada kini dan di sini, maka upaya dan ambisinya terbatas pada hal yang
sama.
Apabila kita cermati bersama, bahwa
desain pendidikan yang mengacu pada pembebasan, penyadaran dan kreativitas
sesungguhnya sejak masa kemerdekaan sudah digagas oleh para pendidik kita,
seperti Ki Hajar Dewantara, KH. Ahmad Dahlan, Prof. HA. Mukti Ali, Ki Hajar
Dewantara misalnya, mengajarkan praktek pendidikan yang mengusung
kompetensi/kodrat alam anak didik, bukan dengan perintah paksaan, tetapi dengan
"tuntunan" bukan "tontonan". Sangat jelas cara mendidik
seperti ini dikenal dengan pendekatan "among"' yang lebih menyentuh
langsung pada tataran etika, perilaku yang tidak terlepas dengan karakter atau
watak seseorang. KH. Ahmad Dahlan berusaha "mengadaptasi" pendidikan
modern Barat sejauh untuk kemajuan umat Islam, sedangkan Mukti Ali mendesain
integrasi kurikulum dengan penambahan berbagai ilmu pengetahuan dan
keterampilan. Namun mengapa dunia pendidikan kita yang masih berkutat dengan
problem internalnya, seperti penyakit dikotomi, profesionalitas pendidiknya,
sistem pendidikan yang masih lemah, perilaku pendidiknya dan lain sebagainya.
Oleh karena itu, membangun karakter
dan watak bangsa melalui pendidikan mutlak diperlukan, bahkan tidak bisa
ditunda, mulai dari lingklingan rumah tangga, sekolah dan masyarakat dengan
meneladani para tokoh yang memang patut untuk dicontoh. Semoga ke depan bangsa
kita lebih beradab, maju, sejahtera kini, esok dan selamanya. Seiring dengan
peringatan Hari Pendidikan Nasional 2 Mei Tahun 2007 yang lalu dan mereka yang
lahir pada tanggal yang sama, semoga panjang umur dan berjiwa pendidik yang
patut disuri tau-ladani generasi yang akan datang, bahkan lestari selamanya.
Amin. ©